Memilih Jalur Sepi: Mengejar Nama, Mengubur Potensi
Setiap tahun, pemandangan yang sama terulang: ribuan calon mahasiswa berbondong-bondong mendaftar ke segelintir jurusan yang dianggap “favorit”, sementara jurusan lain seperti Sastra Daerah, Fisika, atau Ilmu Sejarah di UI hanya disambangi oleh ratusan, bahkan hanya puluhan pendaftar.¹
Data ini sering kali dipakai sebagai kompas navigasi, sebuah “strategi” untuk menyelinap masuk ke perguruan tinggi negeri dengan memilih jalur yang sepi. Namun, di balik strategi pragmatis ini, tersembunyi sebuah kekeliruan logis: asumsi bahwa peluang masuk adalah segalanya, sementara “kecocokan” atau fitness antara diri dan bidang ilmu dianggap harga yang pantas dibayar.²
Tragedi ini bukan hanya milik individu, tetapi juga cermin dari sistem pendidikan yang masih gamang. Kebijakan pendidikan kita kerap berubah layaknya mode, berganti setiap periode kepemimpinan, menjadikan siswa sebagai angkatan percobaan yang harus terus beradaptasi dengan ketidakpastian.³
Kurikulum yang seharusnya menjadi peta perjalanan, justru menjadi teka-teki yang membuat guru bingung dan siswa frustrasi. Dalam ekosistem seperti ini, wajar jika orientasi versi “aman” dan “cepat lulus” menjadi primadona, meski harus mengubur dalam-dalam pertanyaan, “Apa yang benar-benar kukuasai dan kucintai?”
Fenomena ini memperlihatkan sebuah ironi. Di satu sisi, pemerintah gencar mendengungkan pentingnya pendidikan karakter dan penguatan kompetensi. Namun di sisi lain, tekanan sistemik dan budaya “kulihat, kulakukan” justru mendorong generasi muda untuk mengabaikan penjelajahan jati diri dan potensi unik mereka.
Kita sibuk membicarakan angka partisipasi dan daya tampung, tetapi lupa bertanya tentang kebahagiaan dan pemenuhan diri di balik angka-angka itu.?
Kecerdasan yang Terluka, Masa Depan yang Terkekang
Konsep Multiple Intelligences dari Howard Gardner sejak lama menegaskan bahwa kecerdasan manusia itu jamak.? Setiap individu membawa komposisi unik antara kecerdasan linguistik, logika-matematis, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial.
Memaksakan seorang anak dengan kecerdasan kinestetik-jasmani yang menonjol untuk mendalami Sastra Belanda, atau memaksa seorang dengan kecerdasan naturalis yang tinggi untuk berkubang dalam rumus Fisika tanpa ada “rasa”, adalah bentuk kekerasan akademik yang halus.
Dampaknya tidak main-main. Riset membuktikan bahwa kesesuaian minat (interest fit) dengan bidang yang ditekuni merupakan prediktor kuat bagi kepuasan kerja di masa depan.? Sebaliknya, ketidakcocokan akan melahirkan generasi yang frustrasi, tidak produktif, dan pada akhirnya, menjadi beban dalam pasar tenaga kerja.
Sebuah studi longitudinal bahkan menunjukkan bahwa minat vokasional di masa remaja dapat memprediksi kesuksesan karier di kemudian hari.? Artinya, memilih jurusan yang salah bukanlah kesalahan sesaat, melainkan sebuah kesalahan berjangka panjang terhadap trajectory hidup seseorang.
Di tingkat makro, praktik ini memperparah tragedi mismatch tenaga kerja. Indonesia sudah lama menghadapi masalah ketimpangan antara lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan industri.? Dengan memproduksi sarjana yang tidak passion-driven, kita hanya menambah panjang daftar pengangguran terdidik yang tidak menemukan ruang karena keterampilan dan minatnya tidak selaras dengan jiwa dan bidang ilmunya. Mereka seperti potongan puzzle yang dipaksakan ke tempat yang tidak tepat, merusak gambar besar dirinya sendiri dan juga gambar besar bangsa.
Melampaui Batas, Merajut Makna
Lantas, di mana jalan keluarnya? Solusinya terletak pada pergeseran paradigma dari pendidikan yang sekadar instrumental menuju pendidikan yang humanis dan berbasis pada potensi otentik. Jurusan yang selama ini dianggap “sepi” justru bisa menjadi lahan subur bagi mereka yang profil kecerdasannya memang selaras.
Sastra Jawa adalah surga bagi kecerdasan linguistik dan intrapersonal; Geofisika adalah kanvas bagi kecerdasan naturalis dan logis-matematis; Ilmu Sejarah adalah panggung untuk kecerdasan spasial, musik dan interpersonal. Masalahnya bukan pada jurusannya, tapi pada cara kita memandang dan mencocokkannya.
Pendampingan dan eksplorasi minat-bakat menjadi kunci. Bukti dari lapangan menunjukkan bahwa pendampingan perencanaan karier berbasis asesmen minat dan bakat terbukti mampu membantu siswa mengembangkan pemahaman diri, mengeksplorasi pilihan karier, dan membuat keputusan yang tepat.? Program seperti ini harus diarusutamakan, bukan sebagai kegiatan sampingan, melainkan sebagai inti dari proses pembelajaran di tingkat SMA. Siswa perlu diberi “kompas diri” sebelum diminta membaca “peta persaingan”.
Terakhir, kita perlu keberanian untuk berpikir out of the box. Kesuksesan di abad ke-21 tidak lagi ditentukan oleh gelar dari jurusan yang “wah”, tetapi oleh kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan menciptakan nilai dari keunikan yang kita miliki. Seorang ahli Sastra Rusia yang passion-driven mungkin akan menjadi diplomat atau analis budaya yang brilian, sementara seorang lulusan Teknik Biomedis yang telaten bisa menjadi pionir start up kesehatan yang revolusioner.
Tugas kita bukan lagi sekadar masuk PTN, tapi merajut makna dari setiap ilmu yang kita pelajari, dan menemukan di mana benang merahnya dengan potensi terdalam kita. Dengan begitu, kita tidak lagi menjadi bagian dari “tragedi pendidikan”, tetapi menjadi arsitek masa depan sendiri.
Daftar Referensi
1. Medcom.id. (2025). “10 Jurusan Sepi Peminat di UI, Intip untuk Perbesar Peluang Lolos di SNBT 2026”. Diakses 18 November 2025. https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/eN4my42b-10-jurusan-sepi-peminat-di-ui-intip-untuk-perbesar-peluang-lolos-di-snbt-2026
2. Sutanto, Vincent. (2025). “Tragedi Pendidikan Indonesia, Kebijakan Baru, Kemunduran Baru”. Binus University. Diakses 18 November 2025. https://binus.ac.id/character-building/2025/04/tragedi-pendidikan-indonesia-kebijakan-baru-kemunduran-baru/
3. Disdikbud Papua. (2025). Kebijakan Pemerintah Terkait Pendidikan 2025.
4. IDN Times. (2025). “HAN 2025: Anak Masih Jadi Korban Sistem Pendidikan”. Diakses 18 November 2025. https://jabar.idntimes.com/news/jawa-barat/penguatan-karakter-siswa-langkah-penting-demi-indonesia-emas-2045-00-9y7yl-p4tvq8
5. Suhardono, E. (2025). Kecerdasan Jamak: Keberagaman dan Inklusivitasnya. Zifatama Jawara.
6. Holland, J. L. (1997). “Making Vocational Choices: A Theory of Vocational Personalities and Work Environments” (3rd ed.). Psychological Assessment Resources.
7. Lent, R. W., & Brown, S. D. (2013). “Social cognitive model of career self-management: Toward a unifying view of adaptive career behavior across the life span”. Journal of Counseling Psychology, 60(4), 557–568. https://doi.org/10.1037/a0033446.
8. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2020). Skills mismatch: OECD Employment Outlook 2020. OECD Publishing.
9. Suherman, M. M., Agustine, T., & Nurul Fauziah, A. (2024). “Pendampingan perencanaan karier berbasis asesmen minat dan bakat siswa SMK Al-Basith Tasikmalaya”. Dharma Publika: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 5(2), 45–56. Diakses 18 November 2025. https://jurnal.yoii.ac.id/index.php/dharmapublika/article/view/297

TENTANG PENULIS
Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.